KONDISI
KOPERASI INDONESIA SAAT INI
Koperasi, mungkin bukanlah
suatu hal yang baru di Negara Indonesia ini, akan tetapi seiring berjalannya
zaman, peranan koperasi nampaknya tergusur oleh berbagai jenis usaha
perekonomian yang pada masa kini makin berkembang. Sebenarnya gagasan berdirinya
koperasi sudah ada sejak tahun 1896, berasal dari ide seorang Pamong Praja
Patih R.Aria Wiria Atmaja di Purwokerto dengan tujuan awal untuk membantu
pegawai-pegawai pemerintahan pada zamannya yang tak jarang terlilit lintah
darat atau rentenir. Akan tetapi, pada saat itu Pemerintah Belanda kurang
menyetujui adanya gagasan itu, dan hanya mendukung jenis-jenis usaha lainnya
seperti Bank Pertolongan, Bank Tabungan serta Bank Pertanian. Pemerintah
Belanda sendiri memiliki beberapa alasan mengapa mereka kurang menyetujui
pendirian koperasi, yakni :
a. Belum ada instansi pemerintah ataupun badan
non pemerintah yang memberikan penerangan dan penyuluhan tentang koperasi.
b.
Belum ada Undang-Undang yang mengatur
kehidupan koperasi.
c.
Pemerintah jajahan sendiri masih ragu-ragu
menganjurkan koperasi karena pertimbangan politik, khawatir koperasi itu akan
digunakan oleh kaum politik untuk tujuan yang membahayakan pemerintah jajahan
itu.
Akan tetapi belum sampai di
situ saja getaran nadi kehidupan perkoperasian Indonesia, Begitupun dengan masa
pendudukan Jepang, Jepang mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini
berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat Jepang
untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Dan barulah
setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di
Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari itu
kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Pada tahun 50-an,
tumbuhlah koperasi bagai cendawan di musim penghujan. Maka untuk menampung dan
menyalurkan aspirasi murni anggota, di Bandung, 15 hingga 17 Juli 1953
diselenggarakan Kongres Koperasi Indonesia kedua. Di sana dengan tinta emas dan
tulus iklas Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia, itu semua
dikarenakan semangat dan jasa beliau yang tak henti-hentinya berjuang,
mengembangkan landasan-landasan koperasi yang ideal bagi masa depan. Kemudian,
memasuki dasawarsa 60-an, lagi-lagi koperasi menemui batu sandungan.
Diselewengkan jadi alat politik, jauh keluar dari prinsip serta norma-norma
memperjuangkan perekonomian rakyat. Di dalam era NASAKOM jumlah koperasi
politik melonjak tak terkendali, sekedar memanfaatkan fasilitas Demokasi
terpimpin buat golongannya.
Dengan bergulirnya tonggak kepemimpinan dari Orde Lama ke Orde Baru,
Kebangkitan koperasi Indonesia setapak demi setapak terus bertindak. Diawal
dengan pembersihan karak dari warisan orde lama, disusul dengan pembenahan
organisasi yang telah porak poranda dan peningkatan sumber daya manusia. Fajar
terasa semakin dekat dengan lahirnya UU No. 12/1967. Pertanda koperasi
Indonesia diletakan kembali pada asas insan koperasi di seluruh pelosok
tanah air. Semenjak pelita I, Pemerintah dan masyarakat koperasi Indonesia telah
menemukan titik tolak pembangunan yang mantap, kokoh serasi dan
berkesinambungan. Dari tahap demi tahap pembenahan dan pengembangan selama
Pelita I dan Pelita II, pilar-pilar penyangga koperasi Indonesia mulai
terpasang dengan seksama. Antara lain, berkembangnya Badan Usaha Unit
Desa/Koperasi Unit Desa sebagai wadah perekonomian pedesaan. Dipersiapkan
kader-kader koperasi masa depan lewat pendidikan dan latihan yang intensif dan
terprogram.
Peran koperasi dalam
perekonomian nasional semakin tak terdengar gaungnya. Hal ini di karenakan,
koperasi yang identik dengan kalimat soko guru perekonomian nasional nyatanya
tak mampu memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).
Koperasi yang masih aktif pun tidak sedikit yang pada praktiknya melenceng dari
tujuan utama, yakni meningkatkan kesejahteraan anggota. Menurut Guru Besar
Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Prof. Dr. H. RM Ramudi Arifin,
SE, MSi, saat ini banyak koperasi yang pada praktiknya beroperasi dengan
paradigmaa perusahaan. Mereka sibuk memupuk pendapatan, keuntungan dan Sisa
Hasil Usaha (SHU). Nyatanya berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan
selama bertahun-tahun, koperasi yang berhasil memupuk SHU besar, memiliki
banyak asset, modal kuat, menjadi perusahaan besar, juga mendapat predikat
terbaik, belum tentu mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Selama ini masalah
perubahan paradigma tidak pernah menjadi isu sentral. Padahal, orientasi
koperasi ke ranah kapitalis seperti yang saat ini bergulir sangat berbahaya.
Saat ini saja, koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional hanya tinggal
sebatas jargon. Tanamkan paradigma bahwa koperasi besar bukan karena SHU atau
asset melainkan kesejahteraan anggota. Perubahan paradigma tersebut harus
dilakukan menyeluruh dan terintegrasi sinergis. Eksistensi koperasi jangan
sekadar menjadi perwujudan konstitusi. Lebih dari itu, keberadaan koperasi
harus dilihat sebagai kebutuhan.
Melencengnya paradigma sebenarnya salah satu dari beragam permasalahan yang
mencengkram dunia koperasi dewasa ini. Dalam prakteknya masih banyak masalah
melilit sektor perkoperasian khususnya terkait daya saing yang kian tergerus.
Faktor-faktor
penyebab kurang berkembangnya koperasi di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Faktor
Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar koperasi yang ada di
Indonesia dikelola oleh pihak-pihak yang kurang profesional, kurang kompeten
dibidangnya. Pengurus hanya sebatas “ada” sebagai formalitas tanpa memandang
apakah pengurus tersebut mempunyai ilmu dan berpengalaman untuk mengelola
sebuah badan usaha sehingga membuat koperasi sulit sekali berkembang ditengah
persaingan yang sangat ketat dengan pihak swasta yang semakin menjamur.
2.
Permodalan
Ciri-ciri koperasi di Indonesia
merupakan kumpulan orang dan bukan kumpulan modal. Jadi, selama ini modal yang
ada di koperasi sangat terbatas sehingga rasanya sulit untuk mengembangkan,
memutar kembali modal yang ada agar menghasilkan pendapatan lebih yang berguna
untuk koperasi itu sendiri. Selain itu, koperasi juga belum bisa bekerjasama
dengan bank dalam hal peminjaman modal dikarenakan bank yang masih memandang
koperasi dengan sebelah mata. Bukan tanpa alasan bank bersikap seperti itu,
kalau kita cermati, memang pengelolaan koperasi saat ini masih buruk, sehingga
menyebabkan bank masih belum bisa percaya sepenuhnya untuk memberikan pinjaman
kepada koperasi.
3.
Mental
Pengurusnya
Sejak zaman orde baru, koperasi
terlalu dimanja oleh pemerintah. Pada saat itu pemerintah membuat kebijakan
bahwa BUMN wajib menyisihkan 5% dari labanya untuk pengembangan koperasi. Ini
membuat koperasi maupun pengurusnya bermental lemah, tidak bisa bersaing karena
hanya bisa berpangkutangan menunggu dukungan dana dari pemerintah. Dana yang
telah didapat pun kurang bisa dikelola dengan baik oleh para pengurusnya untuk
menghasilkan sesuatu yang benar-benar menguntungkan. Seperti yang telah dibahas
pada poin sebelumnya, hal ini juga merupakan akibat dari sumber daya manusianya
yang kurang memadai.
4.
Pengawasan
Seperti disebutkan pada poin
sebelumnya bahwa koperasi terlalu dimanja oleh pemerintah dengan mendapat
kucuran dana terlalu banyak, hal ini juga dibarengi dengan pengawasan terhadap
alur jalannya dana tersebut yang sangat kurang bahkan tidak ada karena
seringkali dalam pemilihan pengurus, yang terpilih adalah mereka-mereka yang
kaya, terpandang, pemuka masyarakat, padahal kalau dilihat dari segi SDM belum
tentu mereka memadai dalam pengelolaan koperasi secara profesional. Sedangkan
biasanya yang terpilih sebagai pengawas adalah mereka-mereka yang kedudukannya
dibawah para pengurus sehingga timbul anggapan bahwa para pengurusnya adalah
orang yang dihormati dan hal itu membuat proses pengawasan agak sedikit sulit
karena ada rasa sungkan yang timbul.
5.
Pengetahuan
para anggotanya
Tingkat partisipasi anggota koperasi
masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang
menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi itu hanya untuk melayani konsumen
seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau pinjaman. Mereka belum tahu
betul bahwa dalam koperasi konsumen juga berarti pemilik, dan mereka berhak
berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi miliknya serta berhak
mengawasi kinerja pengurus. Keadaan seperti ini tentu sangat rentan terhadap
penyelewengan dana oleh pengurus karena tanpa partisipasi anggota tidak ada
kontrol dari anggotanya sendiri terhadap pengurus.
6.
Kesadaran
Masyarakat
Dalam membahas perkembangan koperasi
yang bisa dibilang dalam masa kritis, kita tidak bisa hanya menyalahkan
pengelola atau pemerintah saja, tetapi kita sebagai masyarakat juga harus sadar
bahwa kita jugalah yang membuat koperasi semakin terpuruk sekarang ini.
Contohnya saja, zaman sekarang kita lebih suka berbelanja di unit-unit yang
dikelola oleh swasta dibandingkan di koperasi konsumsi. Kalau kita cermati,
berbelanja di koperasi itu lebih menguntungkan dibanding di unit usaha milik
swasta. Mengapa demikian? Di koperasi konsumsi, harga-harga barang lebih murah
dari harga pasaran, selain itu, semakin banyak kita berbelanja di koperasi,
kita sebagai anggota akan otomatis mendapat SHU yang juga semakin tinggi. Jadi
kita pun akan banyak diuntungkan dengan berbelanja di koperasi konsumsi. Selain
itu, perkembangan koperasi di Indonesia bukan muncul dari kesadaran masyarakat
itu sendiri, melainkan dari dukungan pemerintah, lalu pemerintah men-sosialisasikannya
lagi kepada masyarakat. Selain itu, tanggapan masyarakat sendiri terhadap
koperasi. Karena kegagalan koperasi pada waktu yang lalu tanpa adanya
pertanggungjawaban kepada masyarakat yang menimbulkan ketidakpercayaan pada
masyarakat tentang pengelolaan koperasi.
komentar
Posting Komentar