KONDISI KOPERASI INDONESIA SAAT INI

Minggu, 29 September 2013 komentar
KONDISI KOPERASI INDONESIA SAAT INI

        Koperasi, mungkin bukanlah suatu hal yang baru di Negara Indonesia ini, akan tetapi seiring berjalannya zaman, peranan koperasi nampaknya tergusur oleh berbagai jenis usaha perekonomian yang pada masa kini makin berkembang. Sebenarnya gagasan berdirinya koperasi sudah ada sejak tahun 1896, berasal dari ide seorang Pamong Praja Patih R.Aria Wiria Atmaja di Purwokerto dengan tujuan awal untuk membantu pegawai-pegawai pemerintahan pada zamannya yang tak jarang terlilit lintah darat atau rentenir. Akan tetapi, pada saat itu Pemerintah Belanda kurang menyetujui adanya gagasan itu, dan hanya mendukung jenis-jenis usaha lainnya seperti Bank Pertolongan, Bank Tabungan serta Bank Pertanian. Pemerintah Belanda sendiri memiliki beberapa alasan mengapa mereka kurang menyetujui pendirian koperasi, yakni :
a. Belum ada instansi pemerintah ataupun badan non pemerintah yang memberikan penerangan dan penyuluhan tentang koperasi.
b.    Belum ada Undang-Undang yang mengatur kehidupan koperasi.
c.    Pemerintah jajahan sendiri masih ragu-ragu menganjurkan koperasi karena pertimbangan politik, khawatir koperasi itu akan digunakan oleh kaum politik untuk tujuan yang membahayakan pemerintah jajahan itu.
Akan tetapi belum sampai di situ saja getaran nadi kehidupan perkoperasian Indonesia, Begitupun dengan masa pendudukan Jepang, Jepang mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus.  Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat Jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Dan barulah setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Pada tahun 50-an, tumbuhlah koperasi bagai cendawan di musim penghujan. Maka untuk menampung dan menyalurkan aspirasi murni anggota, di Bandung, 15 hingga 17 Juli 1953 diselenggarakan Kongres Koperasi Indonesia kedua. Di sana dengan tinta emas dan tulus iklas Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia, itu semua dikarenakan semangat dan jasa beliau yang tak henti-hentinya berjuang, mengembangkan landasan-landasan koperasi yang ideal bagi masa depan. Kemudian, memasuki dasawarsa 60-an, lagi-lagi koperasi menemui batu sandungan. Diselewengkan jadi alat politik, jauh keluar dari prinsip serta norma-norma memperjuangkan perekonomian rakyat. Di dalam era NASAKOM  jumlah koperasi politik melonjak tak terkendali, sekedar memanfaatkan fasilitas Demokasi terpimpin buat golongannya.
            Dengan bergulirnya tonggak kepemimpinan dari Orde Lama ke Orde Baru, Kebangkitan koperasi Indonesia setapak demi setapak terus bertindak. Diawal dengan pembersihan karak dari warisan orde lama, disusul dengan pembenahan organisasi yang telah porak poranda dan peningkatan sumber daya manusia. Fajar terasa semakin dekat dengan lahirnya UU No. 12/1967. Pertanda koperasi Indonesia diletakan kembali pada  asas insan koperasi di seluruh pelosok tanah air. Semenjak pelita I, Pemerintah dan masyarakat koperasi Indonesia telah menemukan titik tolak pembangunan yang mantap, kokoh serasi dan berkesinambungan. Dari tahap demi tahap pembenahan dan pengembangan selama Pelita I dan Pelita II, pilar-pilar penyangga koperasi Indonesia mulai terpasang dengan seksama. Antara lain, berkembangnya Badan Usaha Unit Desa/Koperasi Unit Desa sebagai wadah perekonomian pedesaan. Dipersiapkan kader-kader koperasi masa depan lewat pendidikan dan latihan yang intensif dan terprogram.
Peran koperasi dalam perekonomian nasional semakin tak terdengar gaungnya. Hal ini di karenakan, koperasi yang identik dengan kalimat soko guru perekonomian nasional nyatanya tak mampu memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Koperasi yang masih aktif pun tidak sedikit yang pada praktiknya melenceng dari tujuan utama, yakni meningkatkan kesejahteraan anggota. Menurut Guru Besar Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Prof. Dr. H. RM Ramudi Arifin, SE, MSi, saat ini banyak koperasi yang pada praktiknya beroperasi dengan paradigmaa perusahaan. Mereka sibuk memupuk pendapatan, keuntungan dan Sisa Hasil Usaha (SHU).  Nyatanya berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan selama bertahun-tahun, koperasi yang berhasil memupuk SHU besar, memiliki banyak asset, modal kuat, menjadi perusahaan besar, juga mendapat predikat terbaik, belum tentu mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Selama ini masalah perubahan paradigma tidak pernah menjadi isu sentral. Padahal, orientasi koperasi ke ranah kapitalis seperti yang saat ini bergulir sangat berbahaya. Saat ini saja, koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional hanya tinggal sebatas jargon. Tanamkan paradigma bahwa koperasi besar bukan karena SHU atau asset melainkan kesejahteraan anggota. Perubahan paradigma tersebut harus dilakukan menyeluruh dan terintegrasi sinergis. Eksistensi koperasi jangan sekadar menjadi perwujudan konstitusi. Lebih dari itu, keberadaan koperasi harus dilihat sebagai kebutuhan.
         Melencengnya paradigma sebenarnya salah satu dari beragam permasalahan yang mencengkram dunia koperasi dewasa ini. Dalam prakteknya masih banyak masalah melilit sektor perkoperasian khususnya terkait daya saing yang kian tergerus.
          Faktor-faktor penyebab kurang berkembangnya koperasi di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.    Faktor Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar koperasi yang ada di Indonesia dikelola oleh pihak-pihak yang kurang profesional, kurang kompeten dibidangnya. Pengurus hanya sebatas “ada” sebagai formalitas tanpa memandang apakah pengurus tersebut mempunyai ilmu dan berpengalaman untuk mengelola sebuah badan usaha sehingga membuat koperasi sulit sekali berkembang ditengah persaingan yang sangat ketat dengan pihak swasta yang semakin menjamur.
2.    Permodalan
Ciri-ciri koperasi di Indonesia merupakan kumpulan orang dan bukan kumpulan modal. Jadi, selama ini modal yang ada di koperasi sangat terbatas sehingga rasanya sulit untuk mengembangkan, memutar kembali modal yang ada agar menghasilkan pendapatan lebih yang berguna untuk koperasi itu sendiri. Selain itu, koperasi juga belum bisa bekerjasama dengan bank dalam hal peminjaman modal dikarenakan bank yang masih memandang koperasi dengan sebelah mata. Bukan tanpa alasan bank bersikap seperti itu, kalau kita cermati, memang pengelolaan koperasi saat ini masih buruk, sehingga menyebabkan bank masih belum bisa percaya sepenuhnya untuk memberikan pinjaman kepada koperasi.
3.    Mental Pengurusnya
Sejak zaman orde baru, koperasi terlalu dimanja oleh pemerintah. Pada saat itu pemerintah membuat kebijakan bahwa BUMN wajib menyisihkan 5% dari labanya untuk pengembangan koperasi. Ini membuat koperasi maupun pengurusnya bermental lemah, tidak bisa bersaing karena hanya bisa berpangkutangan menunggu dukungan dana dari pemerintah. Dana yang telah didapat pun kurang bisa dikelola dengan baik oleh para pengurusnya untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar menguntungkan. Seperti yang telah dibahas pada poin sebelumnya, hal ini juga merupakan akibat dari sumber daya manusianya yang kurang memadai.
4.    Pengawasan
Seperti disebutkan pada poin sebelumnya bahwa koperasi terlalu dimanja oleh pemerintah dengan mendapat kucuran dana terlalu banyak, hal ini juga dibarengi dengan pengawasan terhadap alur jalannya dana tersebut yang sangat kurang bahkan tidak ada karena seringkali dalam pemilihan pengurus, yang terpilih adalah mereka-mereka yang kaya, terpandang, pemuka masyarakat, padahal kalau dilihat dari segi SDM belum tentu mereka memadai dalam pengelolaan koperasi secara profesional. Sedangkan biasanya yang terpilih sebagai pengawas adalah mereka-mereka yang kedudukannya dibawah para pengurus sehingga timbul anggapan bahwa para pengurusnya adalah orang yang dihormati dan hal itu membuat proses pengawasan agak sedikit sulit karena ada rasa sungkan yang timbul.
5.    Pengetahuan para anggotanya
Tingkat partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi itu hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau pinjaman. Mereka belum tahu betul bahwa dalam koperasi konsumen juga berarti pemilik, dan mereka berhak berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi miliknya serta berhak mengawasi kinerja pengurus. Keadaan seperti ini tentu sangat rentan terhadap penyelewengan dana oleh pengurus karena tanpa partisipasi anggota tidak ada kontrol  dari anggotanya sendiri terhadap pengurus.
6.    Kesadaran Masyarakat
Dalam membahas perkembangan koperasi yang bisa dibilang dalam masa kritis, kita tidak bisa hanya menyalahkan pengelola atau pemerintah saja, tetapi kita sebagai masyarakat juga harus sadar bahwa kita jugalah yang membuat koperasi semakin terpuruk sekarang ini.  Contohnya saja, zaman sekarang kita lebih suka berbelanja di unit-unit yang dikelola oleh swasta dibandingkan di koperasi konsumsi. Kalau kita cermati, berbelanja di koperasi itu lebih menguntungkan dibanding di unit usaha milik swasta. Mengapa demikian? Di koperasi konsumsi, harga-harga barang lebih murah dari harga pasaran, selain itu, semakin banyak kita berbelanja di koperasi, kita sebagai anggota akan otomatis mendapat SHU yang juga semakin tinggi. Jadi kita pun akan banyak diuntungkan dengan berbelanja di koperasi konsumsi. Selain itu, perkembangan koperasi di Indonesia bukan muncul dari kesadaran masyarakat itu sendiri, melainkan dari dukungan pemerintah, lalu pemerintah men-sosialisasikannya lagi kepada masyarakat. Selain itu, tanggapan masyarakat sendiri terhadap koperasi. Karena kegagalan koperasi pada waktu yang lalu tanpa adanya pertanggungjawaban kepada masyarakat yang menimbulkan ketidakpercayaan pada masyarakat tentang pengelolaan koperasi.


komentar

Posting Komentar